BAB II
DASAR TEORI
DASAR TEORI
2.1 Pengertian Belajar Menurut David P. Ausubel
Menurut Ausubel, belajar dapat
diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara
informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau
penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan
informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah
fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari
dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar,
informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan
yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupaun dengan bentuk belajar
penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh
materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau
mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep-konsep atau lain-lain)
yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan
tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru
itu, tanpa menghubungkan pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur
kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Kedua dimensi ,yaitu penerimaan/penemuan
dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan
suatu kontinuum. Ausubel menyatakan, bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan
belajar penerimaan dengan belajar hafalan, sebab mereka berpendapat bahwa
belajar bermakna hanya terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuan. Maka,
belajar penerimaan pun dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan
antara konsep-konsep. Sedangkan belajar penemuan rendah kebermaknaannya, dan
merupakan belajar hafalan, yakni memecahkan suatu masalah hanya dengan
coba-coba seperti menebak suatu teka-teki. Belajar penemuan yang bermakna
sekali hanyalah terjadi pada penelitian yang bersifat ilmiah.
2.2 Tipe Belajar Menurut David P. Ausubel
2.2.1
Belajar dengan Penemuan yang Bermakna
Belajar
dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan
pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia
kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
2.2.2 Belajar dengan
Penemuan yang Tidak Bermakna
Belajar
dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan
sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya,
kemudian dia hafalkan.
2.2.3 Belajar Menerima
(Ekspositori) yang Bermakna
Belajar
menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun
secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu
dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
2.2.4
Belajar Menerima (Ekspositori) yang
Tidak Bermakna
Belajar
menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran yang telah
tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia
pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan
yang ia miliki.
2.3 Prinsip Pembelajaran
Menurut David P. Ausubel
Belajar bermakna akan terjadi bila informasi baru dapat dikaitkan pada
konsep dan sumber yang telah ada dalam struktur kognitif
siswa. Berlangsung atau tidaknya belajar bermakna tergantung pada
struktur kognitif yang ada, serta kesiapan dan niat anak didik untuk belajar
bermakna, dan kebermaknaan materi pelajaran secara potensial
.
Untuk menerapkan teori ausubel
dalam mengajar, guru perlu memperhatikan beberapa konsep dan prinsip-prinsip
lain dalam yang perlu diperhatikan, antara lain: adanya pengatur awal pada awal
pelajaran, dalam mengaitkan konsep-konsep adanya proses diferensiasi progresif
dan rekonsiliasi integratif, dan belajar superordinat.
Pengaturan awal
mengarahkan para siswa kemateri yang akan mereka pelajari, dan menolong mereka
untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat digunakan dalam
membantu menenamkan pengetahuan baru. Suatu pengaturan awal dapat dianggap Pada
tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik
dalam bentuk belajar penemuan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final,
maupun dengan bentuk belajar penerimaan yang mengharuskan siswa untuk menemukan
sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.emacam pertolongan
mental dan disajikan sebelum materi baru.
Diferensiasi progresif
merupakan proses penyusunan konsep, dimana dengan menggunakan strategi ini,
guru mengajarkan konsep-konsep yang paling inklusif dahulu , kemudian
konsep-konsep yang kurang inklusif, dan setelah itu baru mengajarkan hal-hal
yang khusus, seperti contoh-contoh setiap konsep.
Penyesuaian integratif
yaitu penyesuaian untuk mengatasi atau mengurangi sedapat mungkin pertentangan
kognitif. Untuk mencapai penyesuain integratif, materi pelajaran hendaknya
disusun demikian rupa, hingga kita menggerakkan hirarki-hirarki konseptual ke
atas dan kebawah selama informasi disajikan. Kita dapat memulai dari konsep
yang paling umum, tetapi kita perlu memperhatikan bagaimana terkaitnya
konsep-konsep subordinat, dan kemudian bergerak kembali melalui contoh-contoh
ke arti-arti baru pada konsep-konsep yang lebih tinggi.
Belajar supordinat
terjadi, bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai
unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif. Sebagai contoh
sebelum belajar bioligi anak menganggap buncir, wortel dan tomatadalah semua
sayuran, tetapi setelah belajar mereka dapat membedakan tomat, buncis, dan
wortel itu adalah jenis tanaman yang berbeda.
2.4 Perbedaan Belajar Bermakna dengan
Belajar Hafalan
Menurut
Ausubel dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke
dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada siswa, melalui penemuan atau penerimaan. Belajar penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan belajar penemuan mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan.
dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada siswa, melalui penemuan atau penerimaan. Belajar penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan belajar penemuan mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan.
Dimensi
kedua berkaitan dengan bagaimana cara siswa dapat mengaitkan informasi atau
materi pelajaran pada struktur kognitif yang telah dimilikinya, ini berarti
belajar bermakna. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba menghapal informasi
baru tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur
kognitifnya, maka dalam hal ini hanya terjadi belajar hafalan bukan belajar
bermakna.
2.5 Langkah-langkah Pembelajaran Menurut
David P. Ausubel
Sebelum dimulainya suatu proses belajar,
maka penting untuk memperhatikan apa-apa saja yang telah diketahui siswa, sebab
ini merupakan faktor dalam mempengaruhi keberhasilan belajar. Untuk itu perlu
dibuat langkah-langkah pembelajaran agar tidak terjadi kerancuan dalam kegiatan
belajar. Berikut merupakan langkah-langkah pembelajaran menurut teori Ausubel:
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi
karakteristik siswa (kemampuan awwal, motivasi, gaya belajar, dan sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran sesuai
dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti.
4. Menentukan topik-topik dan
menampilkanya dalam bentuk advance organizer yang akan dipelajari siswa.
5. Mempelajari konsep-konsep inti
tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret.
6. Melakukan penilaian proses dan
hasil belajar siswa.
2.6 Bentuk Kegiatan Pembelajaran menurut David P. Ausubel
Hakikat belajar merupakan suatu aktivitas yang berkaitan dengan penataan
informasi, reorganisasi, perceptual, dan proses internal. Kebebasan dan
keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan agar
belajar lebih bermakna bagi siswa. Berikut merupakan bentuk kegiatan kegiatan
pembelajaran:
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa
yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif
melaui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal
sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan
benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif
dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka
proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan
baik.
4. Untuk menarik minat dan
meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pengalaman atau informasi baru
dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si pelajar.
5. Pemahaman dan retensi akan
meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika
tertentu, dan sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan lebih
bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi harus
disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas
guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa
yang telah diketahui siswa.
7. Adanya perbedaan individual pada
diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi
keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi,
persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
2.7 Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Belajar Bermakna
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi
belajar bermakna menurut Ausubel (1963), ialah struktur kognitif yang ada,
stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan
pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan
kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur
kognitif itu; demiklian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur
kognitif itu stabil, jelas, dan diatur dengan baik, maka arti-arti
yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul, dan cenderung bertahan.
Tetapi sebaliknya, jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan
tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan
retensi. Prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna adalah sebagai berikut:
1. Materi yang akan dipelajari harus
bermakna secara potensial.
2. Anak yang akan belajar atau siswa
harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan
dan niat untuk belajar bermakna.
Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Banyak siswa
mengikuti pelejarn – pelajaran yang kelihatannya tidak relevan dengan kebutuhan
mereka pada saat itu. Dalam pelajaran – pelajaran demikian materi pelajaran
dipelajari secara hafalan.para siswa kelihatannya dapat memberikan jawaban yang
benar tanpa menghubungkan materi itu pada aspek – aspek lain dalam struktur
kognitif mereka. Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung pada
dua faktor :
1. Materi itu harus memiliki
kebermaknaan logis.
2. Gagasan yang relevan harus terdapat
dalam struktur kognitif siswa.
Materi yang memiliki kebermaknaan logis
merupakan materi yang nonarbitrer
(materi yang konsisten dengan apa yang telah diketahui) dan substantif (materi itu dapat dinyatakan dalam berbagai cara tanpa mengubah arti). Contoh dari nonarbitrer anak yang sudah mempelajari konsep–konsep segi empat dan bujur sangkar dapat memasukkan kedua konsep ini secara nonarbitrer ke dalam klasifikasi yang lebih luas, yaitu kuadrilateral (persegi empat) , sebab sifat–sifat dari bentuk–bentuk bersegi empat akan cocok dengan konsep–konsep segi empat dan bujur sangkar yang sudah dipelajari. Selanjutnya contoh yang substantif suatu segi tiga ekilateral adalah segitiga yang mempunyai tiga sisi yang sama dapat diubah menjadi “bila sebuah segitiga mempunyai semua sisi sama maka segitiga itu adalah segi tiga ekilateral”. Dengan mengubah urutan kata–kata, kita tidak mengubah artinya; pernyataan itu ekivalen.
(materi yang konsisten dengan apa yang telah diketahui) dan substantif (materi itu dapat dinyatakan dalam berbagai cara tanpa mengubah arti). Contoh dari nonarbitrer anak yang sudah mempelajari konsep–konsep segi empat dan bujur sangkar dapat memasukkan kedua konsep ini secara nonarbitrer ke dalam klasifikasi yang lebih luas, yaitu kuadrilateral (persegi empat) , sebab sifat–sifat dari bentuk–bentuk bersegi empat akan cocok dengan konsep–konsep segi empat dan bujur sangkar yang sudah dipelajari. Selanjutnya contoh yang substantif suatu segi tiga ekilateral adalah segitiga yang mempunyai tiga sisi yang sama dapat diubah menjadi “bila sebuah segitiga mempunyai semua sisi sama maka segitiga itu adalah segi tiga ekilateral”. Dengan mengubah urutan kata–kata, kita tidak mengubah artinya; pernyataan itu ekivalen.
Aspek kedua tentang kebermaknaan potensial
adalah bahwa dalam struktur kognitif siswa harus ada gagasan yang relevan.
Dalam hal ini kita harus memperhatikan pengalaman anak – anak, tingkat
perkembangan mereka, intelegensi mereka, dan usia.isi pelajaran harus
dipelajari secara hafalan, bila anak – anak itu tidak mempunyai pengalaman yang
diperlukan mereka untuk mengatkan atau menghubungkan isi pelajaran itu.
Oleh karena itu, agar terjadi belajar
bermakna materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan
untuk memasukkan materi itu kedalam struktur kognitifnya, dan dalam struktur
kognitif anak harus terdapat unsure – unsur yang cocok untuk mengaitkan atau
menghubungkan materi baru secara nonarbitrer dan substantif. Jika salah satu
komponen ini tidak ada maka materi itu walaupun dipelajari akan dipelajari
secara hafalan.
2.8 Keunggulan teori David P. Ausubel
Proses belajar terjadi jika seseorang
mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimiliknya dengan pengetahuan
baru. Proses belajar aka terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus,
memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah
dipahami.
Menurut Ausubel dan juga Novak (1997), ada tiga kebaikan dari belajar
bermakna,yaitu:
1. Informasi yang dipelajari secara
bermakna lebih lama dapat diingat.
2. Informasi yang tersubsumsi berakibatkan
peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer, jadi memudahkan proses belajar
berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang dilupakan sesudah
subsumsi obliteratif, meninggalkan efek residual pada subsume, sehingga
mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah terjadi “lupa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar