...... CHEMICAL EDUCATION: TEORI BELAJAR BEMAKNA AUSUBEL ...... CHEMICAL EDUCATION: TEORI BELAJAR BEMAKNA AUSUBEL

Senin, 05 Mei 2014

TEORI BELAJAR BEMAKNA AUSUBEL





BAB II
DASAR TEORI

2.1  Pengertian Belajar Menurut David P. Ausubel
Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupaun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep-konsep atau lain-lain) yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu, tanpa menghubungkan pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan.

Kedua dimensi ,yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinuum. Ausubel menyatakan, bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar penerimaan dengan belajar hafalan, sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuan. Maka, belajar penerimaan pun dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep. Sedangkan belajar penemuan rendah kebermaknaannya, dan merupakan belajar hafalan, yakni memecahkan suatu masalah hanya dengan coba-coba seperti menebak suatu teka-teki. Belajar penemuan yang bermakna sekali hanyalah terjadi pada penelitian yang bersifat ilmiah.

    2.2  Tipe Belajar Menurut David P. Ausubel
            2.2.1 Belajar dengan Penemuan yang Bermakna
                     Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.

2.2.2 Belajar dengan Penemuan yang Tidak Bermakna
                     Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

2.2.3 Belajar Menerima (Ekspositori) yang Bermakna
Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.


    2.2.4 Belajar Menerima (Ekspositori) yang Tidak Bermakna
Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.


      2.3  Prinsip Pembelajaran Menurut David P.  Ausubel
Belajar bermakna akan terjadi bila informasi baru dapat dikaitkan pada konsep dan sumber yang telah ada dalam struktur kognitif siswa.  Berlangsung atau tidaknya belajar bermakna tergantung pada struktur kognitif yang ada, serta kesiapan dan niat anak didik untuk belajar bermakna, dan kebermaknaan materi pelajaran secara potensial
.
Untuk menerapkan teori ausubel dalam mengajar, guru perlu memperhatikan beberapa konsep dan prinsip-prinsip lain dalam yang perlu diperhatikan, antara lain: adanya pengatur awal pada awal pelajaran, dalam mengaitkan konsep-konsep adanya proses diferensiasi progresif dan rekonsiliasi integratif, dan belajar superordinat.

Pengaturan awal mengarahkan para siswa kemateri yang akan mereka pelajari, dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat digunakan dalam membantu menenamkan pengetahuan baru. Suatu pengaturan awal dapat dianggap Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penemuan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar penerimaan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.emacam pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru.

Diferensiasi progresif merupakan proses penyusunan konsep, dimana dengan menggunakan strategi ini, guru mengajarkan konsep-konsep yang paling inklusif dahulu , kemudian konsep-konsep yang kurang inklusif, dan setelah itu baru mengajarkan hal-hal yang khusus, seperti contoh-contoh setiap konsep.

Penyesuaian integratif yaitu penyesuaian untuk mengatasi atau mengurangi sedapat mungkin pertentangan kognitif. Untuk mencapai penyesuain integratif, materi pelajaran hendaknya disusun demikian rupa, hingga kita menggerakkan hirarki-hirarki konseptual ke atas dan kebawah selama informasi disajikan. Kita dapat memulai dari konsep yang paling umum, tetapi kita perlu memperhatikan bagaimana terkaitnya konsep-konsep subordinat, dan kemudian bergerak kembali melalui contoh-contoh ke arti-arti baru pada konsep-konsep yang lebih tinggi.
Belajar supordinat terjadi, bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif. Sebagai contoh sebelum belajar bioligi anak menganggap buncir, wortel dan tomatadalah semua sayuran, tetapi setelah belajar mereka dapat membedakan tomat, buncis, dan wortel itu adalah jenis tanaman yang berbeda.

     2.4 Perbedaan Belajar Bermakna dengan Belajar Hafalan
Menurut Ausubel dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke
dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada siswa, melalui penemuan atau penerimaan. Belajar penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan belajar penemuan mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan.

Dimensi kedua berkaitan dengan bagaimana cara siswa dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran pada struktur kognitif yang telah dimilikinya, ini berarti belajar bermakna. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba menghapal informasi baru tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka dalam hal ini hanya terjadi belajar hafalan bukan belajar bermakna.

     2.5 Langkah-langkah Pembelajaran Menurut David P. Ausubel
Sebelum dimulainya suatu proses belajar, maka penting untuk memperhatikan apa-apa saja yang telah diketahui siswa, sebab ini merupakan faktor dalam mempengaruhi keberhasilan belajar. Untuk itu perlu dibuat langkah-langkah pembelajaran agar tidak terjadi kerancuan dalam kegiatan belajar. Berikut merupakan langkah-langkah pembelajaran menurut teori Ausubel:
1.      Menentukan tujuan pembelajaran.
2.      Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awwal, motivasi, gaya belajar, dan sebagainya).
3.      Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti.
4.      Menentukan topik-topik dan menampilkanya dalam bentuk advance organizer yang akan dipelajari siswa.
5.      Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret.
6.      Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

     2.6 Bentuk Kegiatan Pembelajaran menurut David P. Ausubel
Hakikat belajar merupakan suatu aktivitas yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi, perceptual, dan proses internal. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Berikut merupakan bentuk kegiatan kegiatan pembelajaran:
1.      Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melaui tahap-tahap tertentu.
2.      Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3.      Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4.      Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si pelajar.
5.      Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dan sederhana ke kompleks.
6.      Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
7.      Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.

    2.7  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Bermakna
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel (1963), ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demiklian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif  itu stabil, jelas, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul, dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya, jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi. Prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna adalah sebagai berikut:
1.      Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial.
2.      Anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.
Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Banyak siswa mengikuti pelejarn – pelajaran yang kelihatannya tidak relevan dengan kebutuhan mereka pada saat itu. Dalam pelajaran – pelajaran demikian materi pelajaran dipelajari secara hafalan.para siswa kelihatannya dapat memberikan jawaban yang benar tanpa menghubungkan materi itu pada aspek – aspek lain dalam struktur kognitif mereka. Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung pada dua faktor :
1.      Materi itu harus memiliki kebermaknaan logis.
2.      Gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa.

Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang nonarbitrer
 (materi yang konsisten dengan apa yang telah diketahui) dan substantif (materi itu dapat dinyatakan dalam berbagai cara tanpa mengubah arti). Contoh dari nonarbitrer anak yang sudah mempelajari konsep–konsep segi empat dan bujur sangkar dapat memasukkan kedua konsep ini secara nonarbitrer ke dalam klasifikasi yang lebih luas, yaitu kuadrilateral (persegi empat) , sebab sifat–sifat dari bentuk–bentuk bersegi empat akan cocok dengan konsep–konsep segi empat dan bujur sangkar yang sudah dipelajari. Selanjutnya contoh yang substantif suatu segi tiga ekilateral adalah segitiga yang mempunyai tiga sisi yang sama dapat diubah menjadi “bila sebuah segitiga mempunyai semua sisi sama maka segitiga itu adalah segi tiga ekilateral”. Dengan mengubah urutan kata–kata, kita tidak mengubah artinya; pernyataan itu ekivalen.


Aspek kedua tentang kebermaknaan potensial adalah bahwa dalam struktur kognitif siswa harus ada gagasan yang relevan. Dalam hal ini kita harus memperhatikan pengalaman anak – anak, tingkat perkembangan mereka, intelegensi mereka, dan usia.isi pelajaran harus dipelajari secara hafalan, bila anak – anak itu tidak mempunyai pengalaman yang diperlukan mereka untuk mengatkan atau menghubungkan isi pelajaran itu.
Oleh karena itu, agar terjadi belajar bermakna materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memasukkan materi itu kedalam struktur kognitifnya, dan dalam struktur kognitif anak harus terdapat unsure – unsur yang cocok untuk mengaitkan atau menghubungkan materi baru secara nonarbitrer dan substantif. Jika salah satu komponen ini tidak ada maka materi itu walaupun dipelajari akan dipelajari secara hafalan.


    2.8  Keunggulan teori David P. Ausubel
Proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimiliknya dengan pengetahuan baru. Proses belajar aka terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.

Menurut Ausubel dan juga Novak (1997), ada tiga kebaikan dari belajar bermakna,yaitu:
1.      Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
2.      Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3.      Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif, meninggalkan efek residual pada subsume, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah terjadi “lupa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar